Kamis, 28 April 2016

Biografi Mgr Albertus Soegijapranata

Biografi Mgr Albertus Soegijapranata


Mgr Albertus Soegijapranata lahir dengan nama Soegija. Soegija dibesarkan dalam keluarga abdi dalem Keraton Surakarta. Ia mendapatkan nama Albertus Magnus setelah prosesi pembaptisan ketika bersekolah di Kolese Xaverius, Magelang. Setelah menamatkan sekolahnya, ia berkeinginan untuk menjadi imam sehingga pada tahun 1916 dikirim mengikuti kegiatan imamat dan mulai mendalami ilmu agama Katholik, Bahasa Latin, Yunani, dan filsafat di Gymnasium, Leyden, Belanda. Dari Gymnasium, Soegija kemudian masuk Novisiat SJ di Mariendaal. Ia belajar filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch, pada tahun 1923 sampai 1926. Setelah itu, Soegija mengabdikan dirinya di Kolese Xaverius sebagai pengajar hingga 1928. Ia kemudian kembali berlayar ke Belanda untuk memperdalam ilmu Teologi di Maastricht.

Tahun 1931, Soegija menerima Sakramen Imamat di Kota Maastricht dan menambah namanya dengan Pranata sehingga menjadi Soegijapranata. Dua tahun kemudian, Soegijapranata  kembali ke Indonesia dengan membawa nama baru dan ditugaskan sebagai pastur pembantu di Bintaran. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi pastur paroki. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang diangkat menjadi uskup agung, setelah sebelumnya dinobatkan menjadi Vikaris Apostolik Semarang.

Soegijapranata juga dikenal sebagai imam Katolik pertama yang menyesuaikan dan mengembangkan ajaran Katolik berdasarkan adat ketimuran. Ia menentang anggapan bahwa gereja identik dengan colonial Belanda. Pada masa penjajahan Jepang, beliau bersikap tegas terhadap Jepang yang ingin menggunakan gereja sebagai markas. Bersama Mgr. Willekens, S.J., Soegijapranata pun menghadap ke penguasa Jepang supaya Rumah Sakit St. Carolus dapat terus beroperasi.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan berkumandang, beliau memerintahkan pengibaran bendara Merah Putih depan Gereja Gedangan, Semarang. Kedatangan kembali pasukan Sekutu dan Belanda di Indonesia menimbulkan peperangan yang sengit, termasuk di Semarang. Beliau kembali berperan besar dengan melindungi para pejuang. Saat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, Soegija pun pindah ke Gereja Santo Yoseph di Bintaran, Yogya, agar lebih mudah berkomunikasi dengan pemerintah pusat. Beliau memberi nasihat kepada umat Katolik untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Soegijapranata juga aktif berjuang dalam jalur diplomasi dengan membuat tulisan-tulisan yang dikirim ke luar negeri, termasuk Vatikan, sehingga masyarakat dunia mengetahui kondisi di Indonesia.

Setelah pengakuan kedaulatan di tahun 1949, Soegijapranata kembali berkonsentrasi menjalankan tugasnya membimbing umat Katolik di Indonesia. Kemudian, pada Mei 1963, ia berangkat ke Eropa untuk menghadiri pemilihan Paus dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Tanggal 22 juli 1963, beliau meninggal di Belanda. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Semarang.
  • Tempat/Tgl. Lahir :  Surakarta, 25 November 1896
  • Tempat/Tgl. Wafat :  Belanda, 22 Juli 1963
  • SK Presiden : Keppres No. 52/TK/2010, Tgl. 11 November 2010
  • Gelar : Pahlawan Nasional
"Kisah perjuangan Soegijapranata telah dikisahkan kembali dalam bentuk film berjudul ‘Soegija’. Beliau memang bukan hanya mïlik umat Katolik saja tetapi seluruh bangsa Indonesia."

Meneladan Mgr Albertus Magnus Soegijapranata SJ Sang Pluralis dan Nasionalis sejati

Meneladan Mgr Albertus Magnus Soegijapranata SJSang Pluralis dan Nasionalis sejati

     “Ini tempat suci. Saya tidak akan memberi ijin. Penggal dulu kepala saya, baru tuan boleh
menguasai tempat ini.” Demikianlah jawaban seorang Soegija ketika tentara Jepang
hendak menguasai gedung Gereja Randusari, Semarang sebagai markas tentara Jepang.
Dengan gagah berani Soegija menegaskan bahwa Gereja adalah merupakan wilayah
damai, yang berada di atas Negara. Gereja dan Negara adalah dua hal yang berbeda,
karena Gereja Katolik dipimpin oleh seorang Paus, yang adalah sahabat kaisar Jepang,
Hirohito. Sejak saat itu, Jepang menaruh rasa hormat kepada Mgr Soegijapranata.

     Pada banyak kesempatan, Mgr. Soegijapranata SJ menyerukan, “Kemanusiaan itu satu.
Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya,
kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar. Satu keluarga besar,
dimana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak
menuliskan kata-kata bermandi darah, jangan lagi ada curiga, kebencian dan
permusuhan.”

Fenomena Film “Soegija”

     Sungguh menakjubkan saat melihat masyarakat berbondong-bondong mengantri di loket
bioskop XXI di kota-kota besar untuk menyaksikan sebuah film karya anak bangsa. Bukan film
karya holywood maupun bolywood, yang biasanya dikemas dengan suasana glamour, mewah, dan
berbiaya mahal. Bukan juga film picisan yang mengumbar nuansa pornografi maupun berbau
mistis. Namun sebuah film yang mengisahkan hidup seorang Soegija. Menjadi pertanyaan bagi
kita, sebenarnya apa yang menarik dari film tersebut? Siapakah tokoh yang mendapatkan
sebutan sebagai Romo Kanjeng? Apa perjuangan Mgr Soegijapranata SJ dalam perjuangan
kemerdekaan, sehingga beliau mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional?

     Beberapa mass media memberitakan antusiasme masyarakat untuk menonton film “Soegija”:
Hari Pertama Tayang, 100.000 Tiket Film Soegija ludes, Film “Soegija” dipadati pengunjung;
“Soegija” sebuah film untuk perenungan. Judul-judul pemberitaan tersebut mewakili kerinduan
masyarakat untuk mendapatkan tontonan yang bermutu dan mengajarkan nilai-nilai universal
yang menembus batas-batas sectarian. Bankan Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan
bahwa sosok uskup pribumi pertama Mgr. Albertus Soegijapranata SJ merupakan pemimpin yang
berintegritas Di tengah tanggunwabnya sebagai pemimpin umat Katolik, beliau tetap bersatu
dengan msyarakat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Soegiya
selalu berhubungan dengan pejuang kemerdekaan, termasuk bagaimana beliau berkomunikasi
maupun bertemu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

     Memang ada juga suara-suara sumbang yang sengaja dihembuskan kalangan yang memiliki
pandangan sempit dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mereka menuduh Film “Soegija”
merupakan film agamis dengan maksud penyebaran iman katolik, karena mengangkat figur
tokoh katolik sekaliber Mgr Albertus Soegijapranata ke layar lebar. Terhadap sentiment negative
ini, sang Raja Monolog Butet Kartaredjasa berargumen bahwa tidak ada unsure propaganda iman
katolik. Yang ditonjolkan dalam film ini lebih justru nilai kemanusiaan universal, yang dihidupi
oleh sang tokoh. Terlalu naïf bila ada tudingan bahwa dengan menonton film “Soegija” orang
akan berubah imannya.

     Dr Moeslim Abdurrahman, pendiri Maarif Institute for Culture and Humanity, mengatakan
dedikasi kemanusiaan dan kebangsaan Uskup Soegija sangat luar biasa. Meskipun sering distigma
agama Katolik adalah agama penjajah, tidak terbukti pada Soegija. Kesadaran
kemanusiaan Soegija melampaui formalitas agamanya. Bahkan Garin Nugroho, seorang muslim,
bersedia menggarap film tersebut, karena nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini Soegijapranata
sangat relevan untuk kondisi Indonesia saat ini. Dalam film ini, Soegija mengajarkan kepada para
pemimpin agar mampu mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan untuk meredam gejolak
kekerasan, untuk mendamaikan manusia. Garin menegaskan, “Film ini merupakan sebuah
catatan tepat untuk hari ini. Ini perayaan kegembiraan beragam dan berbangsa. Sudah saatnya
tidak ada ketakutan di dalam masyarakat kita.”

Riwayat Mgr Soegijapranata dan Perjuangan menentang Penjajah

     Tidak banyak orang mengenal kisah hidup putra pribumi pertama yang menjadi seorang Uskup
di Indonesia yang sekaligus mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Soekarno.
Sepak terjang beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak diwarnai dengan angkat
senjata, namun lebih diwujudkan dengan perjuangan diplomasi. Hal ini menjadi penyebab
mengapa penulis sejarah Indonesia di masa orde baru sama sekali tidak tertarik menulis
kisahnya. Penulis sejarah era horde baru lebih menonjolkan tokoh-tokoh politik dan militer, yang
berkonfrontasi langsung dengan kaum penjajah, dengan mengangkat senjata.

     Sebagaimana tercatat pada Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Soegija lahir dari
keluarga kejawen yang sangat sederhana pada tanggal 25 November 1896 di Surakarta. Kedua
orangtuanya merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta, sehingga Soegija dibesarkan
di lingkungan dekat keraton yang sangat menghargai toleransi. Setelah menyelesaikan
pendidikan dasar di Surakarta, ia melanjutkan studi di Kolese Xaverius di Muntilan, yang
didirikan oleh seorang pastur Jesuit, Van Lith SJ. Sebenarnya keputusan tersebut ditentang oleh
orang tua Soegija, karena mereka beranggapan segala hal yang terkait dengan penjajah
merupakan hal yang buruk. Memang bagi sebagian besar masyarakat Jawa, gereja, agama katolik
dan budaya yang terkait dengan penjajah merupakan hal-hal yang perlu dihindari. Akan tetapi
Soegija mempunyai hasrat yang kuat untuk tetap memperoleh pendidikan di Kolese yang
dikelola para Yesuit. Secara perlahan namun pasti, pandangannya tentang agama Katolik
berubah, bahkan Soegija memutuskan untuk dipermandikan oleh Pastor Meltens SJ, di Muntilan,
dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus.

     Setelah mendapatkan pendidikan yang bermutu di Kolese Xaverius, Soegija berhasrat untuk
menjadi seorang imam, sehingga ia dikirim ke Belanda untuk belajar di Gymnasium, Uden,
Noord-Brabant, yang diasuh oleh biarawan Ordo Salib Suci (OSC: Ordo Sanctae Crucis).
Perjalanan dari Indonesia menuju Uden dengan Kapal melewati Tanjung Priok-Muntok-Belawan-
Sabang-Singapore-Colombo-Terusan Suez dan terus ke Amsterdam, yang memakan waktu
berminggu-minggu. Selanjutnya Soegija memutuskan untuk bergabung dengan misionaris
Serikat Jesus di Novisiat Mariendaal, Grave. Di sanalah ia berjumpa dengan Pastor Willekens SJ,
yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Berturut-turut, pada tanggal 22 September
1922 Soegija mengikrarkan kaul prasetia, yang meliputi kaul kemurnian, ketaatan dan
kemiskinan. Periode 1923 hingga 1926, ia belajar filsafat di Kolese Berchman Oudenbosch.
Setelah sempat mengajar di Kolese Xaverius Muntilan pada tahun 1926-1928, Soegija kembali ke
Maastricht Belanda untuk belajar Teologi.


     Di kota Maastricht, Soegija menerima sakramen imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup
Roermond pada tanggal 15 Agustus 1931. Namanya ditambah dengan Pranata, sehingga menjadi
Soegijapranata. Pada tahun 1933, Soegijapranata kembali ke Indonesia dan bekerja di Paroki
Kidullogi Yogyakarta dan dipindahkan ke Paroki Bintaran hingga tahun 1940. Atas penunjukan
dari Mgr Montini, yang nantinya dikenal sebagai Paus Paulus VI, Soegijapranata ditunjuk sebagai
Vikaris Apostolik, yang bergelar Uskup. Pada tanggal 6 November 1940, Soegijapranata
ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris Apostolik Semarang, oleh
Mgr Willekens SJ (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr AJE Albers O.Carm (Vikaris Apostolik Malang)
dan Mgr HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris Apostolik Palembang).

     Pada tahun 1940. Jepang mulai melancarkan agresinya ke wilayah Asia Tenggara, termasuk
Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Mgr Soegijapranata SJ dan Mgr Willekens SJ berjuang
secara damai, tidak mengangkat senjata, demi kepentingan masyarakat Indonesia, bukan hanya
Gereja Indonesia. Ketika semua imam, suster dan bruder dipenjarakan oleh tentara Jepang, Mgr
Soegijapranata bebas dari paksaan tentara Jepang, karena memiliki darah dan kulit jawa. Dengan
jalan damai dan diplomasi, beliau memimpin pemuda-pemudi dari segala latar belakang agama
dan suku, untuk melawan tentara Jepang yang semena-mena. Salah satu kejadian yang tidak
dilupakan adalah ketika beliau menghalangi Jepang yang berupaya menyita semua asset nasional
peninggalan Belanda. Dengan mempertaruhkan hidupnya, beliau menentang pendudukan
tentara Jepang atas asset-aset Gereja, yang juga merupakan asset-aset Negara. Mgr
Soegijapranata mengumandangkan semangat nasionalisme Indonesia, dengan cara yang khas,
pada saat Indonesia baru saja memprokamirkan kemerdekaannya. Pada saat Jepang menyerah
kalah kepada Sekutu, setelah Hirosima dan Nagasaki dibom, para pemuda Indonesia akan
menghabisi tentara Dai Nippon, namun Mgr Soegijapranata berhasil melunakkan para pemuda
untuk mengesampingkan kebencian terhadap Jepang. Akhirnya beliau berhasil mempertemukan
pemimpin militer Tentara Sekutu dengan komandan Jepang untuk menghentikan perang yang
akan memakan banyak korban.

     Perjuangan Mgr Soegijapranata selanjutnya adalah melawan tentara sekutu, yang didominasi
oleh tentara Belanda yang ingin kembali menguasai bangsa Indonesia yang kaya raya akan
sumber daya alam. Pada saat tentara Belanda melakukan agresi, banyak korban berjatuhan dan
kota-kota kembali dikuasai oleh Belanda. Melihat suasana yang semakin genting, Mgr
Soegijapranata menyampaikan pidato melalui Radio RRI Surakarta, pada tanggal 1 Agustus 1947,
pada pukul 20:00 malam. Pidato yang dibawakan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda
berisi tiga hal, yaitu: desakan kepada kedua belah pihak untuk melakukan gencatan senjata demi
kemanusiaan; pernyataan sikap umat Katolik Indonesia yang berjuang bersama seluruh rakyat
Indonesia untuk mencapat kemerdekaan dan kesejahteraan, dan ajakan kepada umat Katolik
Belanda untuk mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di samping itu, melalui
keahliannya dalam menulis gagasan-gagasan, Soegija mengangkat martabat bangsa Indonesia
yang baru saja diprokamirkan oleh Soekarno-Hatta. Lewat Majalah Commonwealth, Mgr
Soegijapranata memaparkan perlakukan Belanda yang tidak beradab terhadap rakyat Indonesia,
dan ingin menguasai bumi nusantara. Akhirnya Belanda bersedia mengadakan Konferensi Meja
Bundar di Denn Haag, hingga akhirnya kedaulatann Indonesia resmi diserahterimakan pada
tanggal 27 Desember 1949. Tampak gamblang perjuangan Mgr Soegijapranata untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sekaligus menghindari pertumpahan darah, baik di
pihak Jepang, Belanda dan Indonesia.

     Sebagai seorang Uskup pribumi pertama di Indonesia, Mgr Soegijapranata SJ mewakili Gereja
Katolik Indonesia untuk menghadiri siding-sidang Konsili Vatikan II di Roma. Di tengah
kesibukannya, beliau berkunjung ke Nederland untuk berobat, sekaligus bertemu dengan
keluarga-keluarga misionaris yang bertugas di Indonesia. Pada tanggal 22 Juli 1963, karena
kelelahan secara fisik, pada usia 66 tahun, beliau meninggal dunia pada pukul 22:20 waktu
setempat, di Steyl Venlo, Belanda. Atas jasa-jasanya bagi bangsa Indonesia, Presiden Soekarno
menganugerahi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI
No.152/Tahun 1963, tertanggal 26 Juli 1963, tepat 4 hari setelah beliau meninggal. Sebagai
bentuk penghormatan pemerintah Indonesia, jenasah Mgr Soegijapranata dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang, Jawa Tengah.

“Apa artinya sebagai bangsa merdeka, jika gagal mendidik diri sendiri?”

     Sang sutradara film “Soegija”, yang notabene beragama muslim, menyampaikan bahwa nilai-nilai
kemanusiaan yang diyakini dan dihidupi oleh Mgr Soegijapranata SJ sangat relevan dengan
kondisi Indonesia saat ini, sekalipun dalam prespektif yang berbeda. Seorang pemimpin,
sebagaimana Soegija seharusnya mempu mengembalilkan nilai-nilai kemanusiaan untuk
meredam gejolak kekerasan, untuk mendamaikan sesama manusia dan berjuang untuk
kesejahteraan bangsa. Pada suatu kesempatan, Romo Kanjeng, sebutan Soegijapranata,
menegaskan, “Apa artinya sebagai bangsa mereka, jika gagal mendidik diri sendiri?”.
Kemerdekaan dan kesejahteraan harus dirasakan dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat,
bukan hanya oleh segelintir orang saja, yang mengatasnamakan pemimpin dan wakil-wakil
rakyat.

     Sejak tumbangnya rezim “Orde Baru”, katanya bangsa Indonesia memasuki masa reformasi, masa
pembaharuan dari situasi yang suram. Namun kenyataannya, justru rakyak kebanyakan
merasakan hidup semakin sulit, ketidakadilan dan kekerasan menjadi peristiwa yang sering
terjadi, kebebasan beragama dilanggar dengan semena-mena. Di sisi lain, perilaki korupsi, kolusi,
nepotisme yang diawal reformasi mau diberantas, justru saat ini tumbuh dengan suburnya.
Kelompok yang memiliki slogan “Katakan tidak pada korupsi” justru menjadi sarang koruptor,
yang bertopeng sebagai wakil dan pemimpin rakyat. Gurita korupsi telah merasuk sendi-sendi
kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari lembaga legislative, judikatif hingga eksekutif. Sulit
bagi kita untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar berjuang untuk kesejahteraan
masyarakat luas; yang menonjol adalah pemimpin-pemimpin yang justru menumpuk harta
benda untuk dirinya dan keturunannya. Dalam kondisi seperti ini, kita mendambakan seorang
pemimpin yang memiliki komitmen tinggi untuk kesejahteraan rakyat dan berjiwa humanis,
multikultural, pluralis dan nasionalis, sebagaiman pribadi Mgr Albertus Magnus Soegijapranata
SJ.

     Sebagai bangsa merdeka, sudah seharusnyalah kemerdekaan itu dialami oleh seluruh lapisan
masyarakat. Bukan saatnya lagi pemimpin memiliki kecenderungan sektarian maupun
primordialisme, karena masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, agama dan ras.
Bagi Soegija, mengindonesia adalah proses menjadi satu bangsa, dimana untuk mewujudkannya
perlu komitmen yang tinggi. Komitment untuk mengesampingkan ego, kepentingan individu
maupun golongan, untuk menuju pada kepentingan yang lebih besar, yakni Bangsa Indonesia. Hal
inilah yang diperjuangkan oleh bapak-bapak bangsa seperti Soekarno, KH Wajid Hasyim, Hatta,
Soegijapranata dan masih banyak lagi. Soekarno menelurkan gagasan nasionalis, dengan
mengetengahkan Pancasila, falsafah kebangsaan. Dari kelompok muslim, ada KH Wahid Hasyim,
yang rela melepas 16 kata dalam Piagam Jakarta, demi komitmen menjadi Indonesia, karena
Indonesia beragam. Mereka saling menghormati satu sama lain, tanpa menonjolkan
kelompoknya. Di tengah membanjirnya paham egosentrisme dan sektarian, kita diingatkan
kembali pada nilai-nilai nasionalisme yang dimiliki bapak bangsa.

     Keteladanan Mgr Soegija mengajak kita semua untuk menata kembali karakter sebagai bangsa
Indonesia yang dikenal Luhur dan bermartabat. Nilai kemanusiaan, toleransi tinggi, saling
mendukung dan menghargai merupakan warisan bangsa yang sebenarnya telah mengalir dalam
diri masyarakat Indonesia. Seharusnya semboyan “Bhineka Tunggal Ika” benar-benar merasuk
dalam diri setiap insan Indonesia, secara lebih khusus para pemimpin bangsa, yang memiliki
kekuasaan. Saat ini, bangsa Indonesia sudah tidak berjuang untuk mengusir penjajah, namun
berjuang untuk mendidik diri sendiri menjadi bangsa yang merdeka. Bukan kemerdekaan semu,
yang hanya dirasakan oleh segelintir orang saja, namun bagaimana kemerdekaan tersebut
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Kemerdekaan untuk beribadah, kemerdekaan untuk
berusaha, kemerdekan untuk berkembang dan sebagainya. Bercermin dari Soegija, komitment
nasionalismenya diwujudkan dengan pernyatan yang sangat terkenal, “100% katolik dan 100%
Indonesia.

Semua Manusia merindukan kedamaian dan menolak kekerasan

     Melalui film “Soegija”, kita belajar jati diri seorang pemimpin yang mengedepankan nilai-nilai
manusiawi, di atas kepentingan pribadi maupun golongan. Soegija memang layak diberi gelar
pahlawan, bukan karena dia seorang uskup pribumi pertama di Indonesia, namun lebih karena
teladan dan pesan kemanusiaan yang dibawanya. Kemanusiaan bersifat universal dan pada
dasarnya merindukan kedamaian dan sama sekali tidak menghendaki adanya kekerasan ataupun
pemaksaan atas suatu keyakinan pribadi. Keberanian dan keteguhannya untuk memperjuangkan
nasionalisme diakui oleh bapak-bapak bangsa, sehingga beberapa hari setelah wafatnya,

Presiden Soekarno langsung menetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

     Menyaksikan peristiwa-peristiwa pertikaian, kerusuhan, korupsi, penindasan umat beragama
dan pembunuhan yang terjadi di seantero penjuru nusantara, para pemimpin bangsa disadarkan
untuk kembali memperjuangkan nasionalisme yang didambakan oleh pendiri bangsa ini. Sosok
Mgr Albertus Magnus Soegijapranata SJ bisa menjadi inspirasi seorang pemimpin yang berjuang
demi kebangsaan dan kemanusiaan. Akhirnya, kemanusiaan itu satu, meski berbeda bangsa,
agama, asal usul dan ragamnya.

Agama Di Indonesia

Agama Terbesar Di Indonesia

Sebagai penduduk Indonesia kamu semua pasti sudah mengetahui bahwa di negara ini ada beberapa agama yang berkembang.
Di lingkungan sekolah misalnya, kamu mungkin tidak hanya akan bertemu dengan teman yang seagama saja. Akan tetapi, akan ada pemeluk agama yang lainnya.
Dan meski berbeda agama namun kita wajib menghormatinya karena sama-sama penduduk di bumi Indonesia yang dilindungi oleh undang-undang.
Seperti yang diajarkan di bangku sekolah, bahwa dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa, “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”.
Negara Indonesia secara resmi mengakui ada 6 agama di Indonesia. Nah, bagi yang penasaran apa saja agama yang diakui secara resmi di Indonesia, berikut ini adalah daftar agama di indonesia dan tempat ibadahnya :
1. Agama Islam
Agama islam termasuk salah satu agama besar di dunia dan merupakan agama dengan jumlah penganut terbesar di Indonesia. Berdasarkan pada hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam.
Tempat ibadah bagi penganut agama Islam adalah Masjid. Setiap harinya mereka menjalankan sholat wajib sebanyak 5 kali di Masjid.
Contoh gambar Masjid
2. Agama Kristen Protestan
Agama Kristen juga merupakan agama yang besar dan memiliki jumlah pemeluk yang berjumlah besar di dunia. Di Indonesia sendiri, menurut hasil sensus 2010, jumlah pemeluk agama Kristen di Indonesia mencapai 6,96% dari 237.641.326 jumlah penduduk.
Tempat ibadah bagi pemeluk agama Kristen Protestan adalah Gereja.
Contoh Gambar Gereja Kristen
3. Agama Katolik
Jumlah pemeluk agama Katolik di Indonesia berdasar hasil sensus tahun 2010 mencapai 2,9% dari 237.641.326 jumlah penduduk.
Tempat ibadah bagi pemeluk agama Katolik adalah Gereja.
Contoh Gambar Gereja Katolik
4. Agama Hindu
Jumlah pemeluk agama Hindu di Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 2010 mencapai 1,69% dari 237.641.326 jumlah penduduk.
Tempat ibadah bagi pemeluk agama Hindu adalah Pura.
Contoh Gambar Pura
5. Agama Buddha
Jumlah pemeluk agama Hindu di Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 2010 mencapai 0,72% dari 237.641.326 jumlah penduduk.
Tempat ibadah bagi pemeluk agama Hindu adalah Vihara.
Contoh Gambar Vihara
6. Agama Kong Hu Cu
Jumlah pemeluk agama Hindu di Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 2010 mencapai 0,05% dari 237.641.326 jumlah penduduk.
Tempat ibadah bagi pemeluk agama Kong Hu Cu adalah Litang / Klenteng.
Contoh Gambar Klenteng
Itulah 6 agama yang diakui secara resmi di Indonesia beserta tempat ibadahnya. Meski, pada hakikatnya, masih banyak agama lain yang masih berkembang di Indonesia hingga saat ini.